tubuh identitas yang terpecah
prolog
karya yang dipicu oleh keluh kesah sahabat-sahabat saya perihal profesi yang telah menjebak mereka dalam ritme kerutinan setiap harinya. nyaris tak ada waktu untuk menghayati tubuh mereka sendiri. tidak ada lagi kuasa untuk mendefinisikan tubuhnya sehingga mereka asing atas tubuhnya sendiri.
afeksi terasing lantas memenuhi saya pula. tapi atas sebab yang berbeda. saya terasing lantaran profesi yang saya anut bukanlah ‘profesi standar’ dalam dunia modern ini. dan saya seorang diri di antara mereka.
kisah ini lantas meluas ketika saya menceritakannya pada para aktor. berbagai persoalan personal pun bergulir. kami juga melakukan sejumlah riset atas pemicu tersebut. hingga akhirnya kami menarik satu garis tematik –yang merupakan pembacaan kami atas pengalaman personal yang kami dan para responden alami–perihal bagaimana relasi tubuh yang terasing dengan pemiliknya, identitas yang kabur bahkan terlupakan hingga melahirkan tubuh-tubuh yang semu.









imaji-imaji sosial yang melukai
Dunia kontemporer kita kian ramai dengan berbagai imaji-imaji sosial. telivisi, koran, majalah, mall dan sejumlah media lainnya terus menjejali kita dengan imaji-imaji perihal tubuh yang indah. bahkan hingga ke ruang personal kita. kita pun kian fasih memungut imaji-imaji sosial tersebut dan menjadikannya unsur primer dalam membentuk tekstur diri. imaji perihal tubuh yang indah –kulit putih dan mulus, rambut lurus, tubuh bertato dan bertindik, gigi rapi, tubuh langsing dan lainnya– setiap saat didengungkan di kepala kita melalui media-media tersebut.
manusia yang mampu memenuhi imaji perihal tubuh yang indah tidak akan menemui soal ketika berada di keramaian. sebab sebuah ‘syarat’ telah dicukupinya. sementara manusia yang tak mampu memenuhi imaji perihal tubuh yang indah akan mengalami soal ketika berada di keramaian. bagian-bagian tubuhnya yang tidak memenuhi standar tubuh yang indah akan terasing dengan sendirinya. ia kemudian dilanda perasaan minder, putus asa, dan sakit hati. pucuknya, ia menarik diri dari keramaian.
seiring waktu, tubuh menjadi parameter harga diri seseorang. tubuh yang indah akan menaikkan harga diri pemiliknya. tubuh yang jauh dari standard akan menurunkan harga diri pemiliknya. stigma ini, entah disadari atau tidak, telah melahirkan semacam kekuasaan dalam relasi antar-manusia. seorang responden kami, yang merasa tubuhnya tak indah menceritakan pengalamannya ketika harus menerima tatapan merendahkan dari manusia-manusia yang mampu melengkapi dirinya dengan tubuh yang indah. keterasingan dan sakit hati yang menderanya menjadi dorongan kuat untuk terus berupaya memenuhi standar tubuh yang indah.
ia adalah satu dari sekian manusia yang kemudian membiarkan tubuhnya semu. ia rela menyakiti tubuhnya melalui serangkaian perawatan tubuh (pelurusan rambut, cukur alis, diet, penggunaan kosmetika dan sebagainya) agar bisa memenuhi standar tersebut. ia menerima kesakitan agar dapat menaikkan harga dirinya dan menggenggam kekuasaan. kesakitan tubuh dianggap sebagai kewajaran untuk menjadi bagian dari kehidupan modern, dari dunia yang hiruk pikuk.
imaji-imaji sosial perihal tubuh yang indah telah menjelma bayang-bayang tubuh kita. ia hanya menyisakan dua pilihan; terasing atau semu.
identitas yang kabur dan terlupakan
Keterasingan adalah sebuah keniscayaan. segala aktivitas kita tak pernah lepas dari jebakan-jebakan keterasingan yang seringkali datang dalam ketidaksadaran. di tubuh kita, di dalam ketidaksadaran itu, telah dan terus terjadi benturan. benturan atas keinginan untuk mempertahankan identitas kita sebagai manusia (termasuk di dalamnya sejarah diri kita) dan keinginan untuk turut dalam sesuatu yang dianut secara massal.
kita telah melemparkan tubuh kita ke dalam aksioma dan simulasi sosial. kemudian membiarkan diri didominasi oleh logika aturan sosial. keterasingan akan sangat mudah terjadi lantaran tekstur diri sebagian besar dari kita terlebih dahulu dibentuk oleh unsur di dalam diri kita masing-masing, melainkan oleh aturan sosial yang merupakan unsur eksternal yang banal.
‘dunia dalam’ sebagian dari kita begitu rapuh ketika menerima kebaruan yang ditawarkan dunia kontemporer ini. kebaruan tersebut terkadang kita serap begitu saja. hasilnya, kita menjelma manusia-manusia tiruan. imitasi dari manusia yang lain. imitasi dari tubuh-tubuh yang lain.
pembentukan tekstur diri yang berpangkal pada logika aturan sosial, pada sesuatu yang dianut secara massal, yang populer; telah mengaburkan identitas kita sebagai manusia. sebab tubuh bukan lagi sesuatu yang kita alami dan kenali sejak mula. kini, tubuh menjadi sesuatu yang artifisial, yang semu. nyaris tidak ada lagi identitas di dalamnya. ia terlupakan.
impresi terhadap ruang dan tubuh
Karya teater berdurasi sekitar 58 menit ini terdiri dari opening, 2 babak dan 10 adegan. opening menjadi semacam introduksi dari keterasingan dan ketidaksadaran tubuh atas benturan yang dialaminya. di babak pertama tubuh berbicara penuh. tanpa benda-benda. di babak kedua presensi tubuh diimbuhi dengan benda-benda. saya tidak meniatkan untuk membuat jalinan cerita dari satu adegan ke adegan berikutnya. adegan-adegan menjadi semacam montase yang menuju ke muara yang sama.
di mula penciptaan, ketika mendesain gagasan artistik karya ini, saya membayangkan dapat membangun ruang yang intim dengan anda sekalian, para penonton. ruang menjadi salah satu kita untuk menyatakan keterasingan yang dialami tubuh. selain itu tubuh menjadi bahasa utama teater ini. karenanya, saya melihat keduanya –ruang dan tubuh–dalam posisi yang inheren. ruang yang intim — dalam proyeksi saya — dapat mendatangkan impresi yang dalam. sayangnya, cukup sulit menemukan ruang dengan karakter yang saya bayangkan.
kemunculan multimedia sebagai elemen artistik pertunjukan merupakan representasi dari gagasan-gagasan visual yang tak terjangkau oleh pengadeganan secara langsung (live). saya tertarik untuk memadukan media ini dengan teater lantaran ia menawarkan kemungkinan-kemungkinan visual yang lain. elemen artistik lainnya, yakni benda-benda, tidak lagi diperlakukan menurut pemanfaatannya. benda-benda hadir sebagai simbol.
karya ini didesain dengan pencahayaan yang netral. hal ini dilakukan untuk mendapat kesan yang wajar. musik dihadirkan dalam cita ilustrasi agar mempertebal rasa gerak yang dikeluarkan tubuh. pemilihan kostum pun berpijak pada keleluasaan tubuh.
epilog
Karya ini tentu saja bisa dibaca berbeda dari apa yang telah saya tulis di sini. bagi kami, yang bermakna adalah ketika karya ini sanggup memberi inspirasi bagi siapa saja, pun di luar segala yang telah kami tempuh.
Terima kasih telah mengapresiasi karya ini. semoga kita bisa baik-baik saja.
Makassar, Agustus 2007
Salam, Shinta Febriany
