Oleh : Syahruni Junaid
Periode postpartum (read: masa setelah melahirkan) tentu adalah hal yang pasti dilewati setiap ibu. Sebuah fase yang sejatinya adalah proses pemulihan fisik dan diikuti proses adaptasi atas kehidupan baru sang ibu. Jika semua berjalan baik, tentu saja tidak akan menjadi masalah. Inilah yang kemudian disuarakan oleh tiga perempuan dengan atribut stagen dan guritanya di atas panggung teater Postpartum. Mereka harus berkonflik dengan suara-suara di kepala yang merupakan reproduksi dari do’s dan taboo’s dari masyarakat, segala doktrin tentang bagaimana seharusnya ibu yang baik itu. Konflik yang dibawakan oleh para pemeran makin dihidupkan dengan adanya tayangan testimoni dari para ibu muda yang mengalami kondisi depresi di fase postpartum mereka. Hal ini tentu saja makin menguatkan keyakinan para penonton bahwa hal ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Konflik batin tanpa support sistem yang baik akan memperparah keadaan yang bisa menyebabkan terjadinya depresi. Di akhir cerita, ketiga pemeran nampak saling menguatkan yang menunjukkan bahwa bagaimana dukungan semua orang di sekitar seorang ibu baru akan menjadi hal yang sangat mereka butuhkan untuk melalui konflik postpartum mereka.
Cerita yang dihadirkan oleh Teater Kala ini bukan hanya menjadi bentuk edukasi yang inovatif, namun juga sebagai pembuktian bahwa dunia sastra dengan mata penanya tak kalah tajamnya dengan mata pedang karena ia mampu menembus kalbu para perempuan yang menyaksikannya langsung. Bentuk kampanye semacam ini semoga terus bisa dibudayakan agar dapat menyentuh semua lapisan masyarakat. Sebagaimana yang diungkap salah seorang narasumber di sesi diskusi “sentuhlah masyarakat dengan seni”. Pagelaran Kala Teater dengan membawa issue “memberi ruang aman pada ibu dengan depresi Postpartum” kuyakini telah menyentuh semua mata yang menyaksikan, baik perempuan maupun laki-laki.
Pentingnya menyentuh kesadaran setiap lini masyarakat dengan harapan terciptanya ruang aman bagi para ibu baru. Perempuan yang belum atau telah melalui fase menjadi ibu semoga tidak terserang Queen syndrom. Syndrom yang bukannya memberikan kekuatan kepada sesama perempuan, namun malah semakin menjatuhkan. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam pagelaran, banyak kalimat-kalimat toxic positivity yang datangnya dari sesama perempuan. Selanjutnya peran laki-laki juga sama pentingnya dalam memberi ruang aman ini, sebab laki-laki mampu menjadi salah satu support system bagi ibu yang melalui fase tersebut. Melalui pagelaran Kala Teater tersebut, mereka berhasil menyentuh kesadaran penonton dan penikmatnya.
Akhir kata, terus berkobar jagat sastra Makassar, terus melangit Teater Kala.



