Skip to main content
Oleh : Selira Dian

“Ibu harus kuat, bisa melakukan segalanya, Wonder Women, menyusui 2 tahun”

“Ibu haru5 kuat, b1s4 m3lakuk4n segaLany4, W0nd3r Women, menyUsui 2 tahun”

“IBU h4rus Qu4t, b154 MeLaKuKan s3g4L4ny4, wOnd3r WOm3n, m3NyUsU1 2 tAHUn”

Bak kaset kusut, konstruksi sosial itu terus memekik di telinga perempuan pascamelahirkan. Sejak lama, imaji kekuatan super ala Wonder Women itu terinternalisasi dalam tubuh perempuan: tak boleh mengeluh, tak boleh marah apalagi misuh. Melahirkan adalah tugas mulia! Siapa yang tak mau surga bertengger di kakinya?

 

Sambil melilitkan korset gurita ke lingkar perut, ketiga perempuan itu perlahan menceritakan pengalamannya sebagai ibu yang baru saja melahirkan anak pertama. Di balik warna-warni piranti bayi, ternyata ada wajah murung yang tak nampak. Melahirkan menjadi pengalaman katarsis bagi mereka untuk menyadari segala bentuk represi terhadap perempuan. 

Jauh sebelum masuk ke fase melahirkan, peran perempuan kerap diasosiasikan sebagai alat produksi semata. Tanpa “produk” yang dihasilkan, maka si “alat” tak akan dipandang berguna, tak layak menyandang gelar perempuan sempurna. Karenanya tak heran, perempuan lajang sering diteror sederet pertanyaan usil: “Kapan kawin?” yang lantas bermutasi seperti virus menjadi “Kapan punya anak?”, “Kapan kakaknya punya adek?”, dan seterusnya. 

Kalau tak juga kawin mawin hingga lewat usia 25 tahun, maka siap-siap julukan “Perawan Tua” akan disematkan warga +62 sebagai nama tengah kita. “Alat produksi” yang menempel di tubuh perempuan menjadi pembenaran untuk memaksa perempuan menikah di usia muda, karena kalau ketuaan, “alat produksi” itu dikhawatirkan akan “Turun mesin”. Diksi-diksi patriarkis itu juga dialami perempuan di negara-negara Asia lainnya, di Cina misalnya, perempuan yang belum menikah hingga lewat usia 27 tahun akan dijuluki Sheng Nu alias perempuan sisa.

Kalau sudah dianggap sisa dan tak masuk seleksi liga pernikahan begini yang disalahkan lagi-lagi perempuan. Fisik tentu yang paling diserang karena dianggap tak memenuhi standar kecantikan. L. Ayu Saraswati dalam Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan Indonesia Transnasional (2017) menyebut, Masyarakat Indonesia telah memiliki imajinasi cantik yaitu putih, jauh sebelum Kolonial Belanda menjajah, yaitu epos India Ramayana di akhir abad ke-9,”. Jika standar kecantikan bukan alasan, tak habis pula argumen busuk bersiasat, kali ini menyerang ranah intelektual. Perempuan sejak lama didoktrin agar tidak terlalu ambisius dalam karir dan pendidikan, karena tak ada lelaki yang mau menikahi yang “terlalu independen” dan “terlalu pintar”. Yang minder lelaki, yang tak jadi S2 perempuan. 

Setelah akhirnya menikah dan hamil, ketiga aktor ini mungkin tak menyangka akan masuk ke fase berikutnya: postpartum depression. Kondisi ini lebih dari sekadar baby blues, melainkan tingkatan depresi yang lebih berat seperti merasa putus harapan, tak layak menjadi “ibu yang baik” hingga menyakiti tubuh sendiri. Ibu yang baik sengaja saya diberikan tanda kutip karena definisinya cenderung patriarkis. Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara (1988) berujar, “Rezim Orde Baru secara sistematis melakukan domestifikasi terhadap perempuan melalui organisasi terkecil yaitu keluarga. Ibu dikonstruksikan sebagai panutan keluarga yang bermoral superior.” Karena itu, “baik” menjadi ukuran yang tak bersih dari nilai patriarki: manut pada suami, ikut suami, menjaga perasaan suami, dan semua hidup perempuan diabdikan untuk anak. 

“Bahkan saat menatap cermin, aku tak lagi mengenali wajahku sendiri. Semua tenagaku habis untuk mengurus anak,”

“Aku bekerja sebagai ibu rumah tangga 24 jam non setop, tanpa gaji dan pengakuan,”

Sahut menyahut dialog itu berhamburan dari mulut para aktor. Tubuh yang sepanjang pertunjukan terlilit korset gurita menjadi metafor untuk menggambarkan keterbelengguan perempuan. Berkutat di antara fisik yang menahan perih, mental yang rapuh, dan konstruksi sosial yang runcing.

Bentuk pertunjukan terlihat semakin menarik dengan bantuan tembakan proyektor di layar sebagai latar panggung. Wawancara pengalaman ketubuhan dari 5–6 perempuan yang didapuk sebagai narasumber dengan detail dan runut mendadah postpartum. 

“Luka sesar saya masih basah, nifas lebih dari 40 hari, terserang iritasi kulit, dan laktasi sulit,”

“Saya down dan menangis sepanjang hari. Memarahi anak dan ingin melukai diri sendiri,”

“Harusnya bukan begitu cara mengurus anak. Kamu salah! Perdebatan antara pola asuh saya dan orang tua/mertua begitu melelahkan,”

“Keluarga yang mestinya menjadi support system utama malah menjadi pihak yang menjatuhkan mental saya,”

“Jangankan untuk makanan yang bergizi, kadang untuk sekadar kenyang saja sulit didapat,”

Salah seorang narasumber dalam layar itu pun bahkan tak kuasa menahan tangis, sementara perempuan lainnya bercerita dengan bibir yang gemetar. Ruang untuk menceritakan pengalaman ketubuhan perempuan saat mengalami pospartum ini memang langka. 

“Rasanya sulit untuk bercerita karena melihat suami sudah lelah bekerja dan takut membebani perasaannya,” 

Kalimat itu muncul dari salah seorang narasumber. Beban menjaga perasaan ini juga dapat kita lihat sebagai bias dari subordinatnya posisi perempuan dalam rumah tangga. Jika saja ada dalam relasi yang setara, maka tak sulit bagi perempuan untuk bercerita. Suami dan istri saling bercerita dan berbagi peran. 

Dalam pertunjukan berdurasi 45 menit, Kala Teater berhasil menghadirkan ruang aman bagi perempuan untuk bercerita. Isu sensitif ini dikemas dalam bentuk sederhana: dialog lugas tak bertele-tele dan tata artistik yang ringkas penuh makna.

Pertunjukan yang ditulis dan sutradari oleh Nurul Inayah ini berhasil membuat penonton menyelami sejenak pengalaman ketubuhan perempuan yang tak lepas dari sejuta belenggu stigma. Dalam benang kusut relasi rumah tangga berbias patriarki, Nurul mengurainya dengan kata kunci: perempuan adalah manusia, manusia tak lepas dari kekurangan, dan menjadi ibu adalah proses belajar seumur hidup bukan keberhasilan instan. 

Di akhir kisah, ketiga perempuan ini akhirnya dengan percaya diri melepas korset gurita dari tubuh. Seraya pula melepaskan stigma perfeksionisme yang dehumanitatif pada tubuh perempuan. Dengan penuh keyakinan lantas berujar, “Aku harus mengatakannya!”.

Leave a Reply