Skip to main content

Oleh : Darmadi H. Tariah

Bagian 1: “Tubuh Kota, Kota Tubuh: Teater sebagai Ruang Perlawanan”

Sudah sepuluh tahun Kala Teater menanam tubuh-tubuhnya di lorong-lorong Makassar. Sejak 2015, proyek Kota dalam Teater bukan hadir sebagai pertunjukan yang sekadar meminjam ruang, melainkan sebagai gerakan yang mengakar dan tumbuh di dalamnya. Ia tidak mengepung penonton dengan dinding hitam dan tirai beludru, tetapi membiarkan cahaya mentari, debu jalanan, dan bunyi klakson menjadi bagian dari dramaturgi. Kala Teater memilih jalan yang tak biasa: menjadikan kota sebagai panggung, warga sebagai naskah hidup, dan ruang sebagai tubuh yang dipertontonkan sekaligus dirawat.

Di tengah kemegahan perayaan-perayaan kota yang sering melupakan suara paling dasar dari warganya, proyek ini berjalan dalam diam yang menggedor. Ia menelusup ke tempat-tempat yang nyaris tak pernah dianggap “layak” bagi seni: beranda warga, halte yang bising, atap parkir pusat belanja, hingga badan jalan yang sibuk. Tapi justru dari tempat-tempat itulah, Kota dalam Teater melahirkan ruang yang paling jujur, ruang di mana seni dan hidup bertemu tanpa topeng.

Tahun 2025 menandai satu dekade perjalanan proyek ini. Sebuah tonggak yang bukan hanya memperingati waktu, tetapi juga mempertegas posisi: bahwa tubuh-tubuh warga adalah saksi kota, dan kota yang adil harus memberi tempat pada tubuh-tubuh yang selama ini tak terdengar. Delapan performans disuguhkan, menyulam keresahan sosial ke dalam tubuh para aktor dan ruang yang mereka jejaki. Tak ada dramatisasi yang dibuat-buat, tak ada estetika artifisial yang mengasingkan. Yang ada hanyalah tubuh manusia yang berdiri di hadapan kita; terengah, terluka, menahan, merapal, berjalan, dan diam.

Dalam melihat Kota dalam Teater, kita bisa kembali kepada pemikiran Victor Turner, seorang antropolog yang membongkar batas antara ritus dan teater. “Drama sosial” adalah sebutan Turner untuk menggambarkan bahwa setiap masyarakat memiliki sebuah narasi konflik dan transisi yang hadir melalui ritus dan simbol. Proyek ini tidak hanya menyajikan cerita, tapi memproduksi ulang kondisi ambang (liminalitas) dalam kehidupan kota: banjir yang berulang dan tak pernah selesai, pete-pete yang menyerempet jiwa, stigma yang membungkam perempuan pengemudi ojek daring, dan tubuh-tubuh yang tak pernah tercatat dalam data resmi. Performans dalam proyek ini menjadi ritual peralihan yang mengguncang struktur sosial kota, membuka ruang kontemplasi dan kemungkinan transformasi.

Tubuh dalam teater ini bukan sekadar alat ekspresi; ia adalah naskah itu sendiri. Kita teringat pada Judith Butler, yang melihat identitas sebagai hasil dari performativity, yakni tindakan yang diulang dan dimaknai dalam ruang sosial. Ketika seorang perempuan menyuarakan kekerasan struktural dalam performans Tubuh yang Tak Pernah Dicatat, ia tidak sedang memerankan tokoh, tetapi menjalani peran hidup yang selama ini diremehkan dan disingkirkan. Tubuhnya menjadi aksi politik, menjadi panggung perlawanan terhadap sistem yang maskulin, tidak adil, dan represif.

Dalam dimensi estetika, proyek ini menyatu dengan pemikiran Umberto Eco tentang open text sehingga menjadi open work. Tidak ada satu tafsir tunggal dalam Kota dalam Teater. Penonton tidak hanya melihat, tetapi mengalami. Mereka berjalan bersama aktor, menatap dari dekat, mendengar bisikan, merasakan panas aspal dan dingin beton. Teater ini bukan hanya narasi yang ditampilkan, tetapi pengalaman yang dibagikan. Penonton menjadi bagian dari makna, menjadi co-creator dari realitas yang dipertunjukkan.

Inilah bentuk paling radikal dari teater yang hidup. Bukan sekadar representasi, tapi partisipasi. Penonton bisa saja tiba-tiba menjadi saksi, lalu berubah menjadi pelintas, lalu menjadi bagian dari arus cerita. Ini mengingatkan kita pada gagasan Allan Kaprow dan Happening, yakni seni yang mencairkan batas antara panggung dan dunia, antara estetika dan etika. Performans-performans dalam proyek ini tidak untuk ditonton dari kejauhan, melainkan untuk diresapi dari jarak intim. Bahkan, kadang-kadang, tanpa sadar kita sudah berada di dalamnya.

Semangat ini juga bergema pada praktik Tino Sehgal, yang menggantikan objek seni dengan pertemuan, percakapan, dan pengalaman tubuh. Kala Teater, seperti Sehgal, menolak estetika benda dan memilih estetika kehadiran. Mereka tidak memberi kita lukisan untuk dikagumi, melainkan tubuh untuk dirasakan. Mereka tidak menawarkan jawaban, tapi menggiring kita pada kegelisahan, keraguan, dan akhirnya: kesadaran.

Secara filosofis, proyek ini menantang narasi dominan tentang kota. Dalam logika modernitas, kota dibayangkan sebagai ruang fungsional; jalan untuk kendaraan, bangunan untuk kerja, taman untuk rekreasi. Tapi Kala Teater menghidupkan kembali kota sebagai ruang simbolik: penuh luka, ingatan, dan potensi imajinasi. Di sinilah kita bertemu dengan gagasan Henri Lefebvre tentang the right to the city, yakni hak warga untuk merebut kembali makna atas ruang yang telah dikonstruksi secara teknokratis. Performans-performans ini bukan sekadar pementasan, tetapi bentuk reclaiming terhadap kota: mengangkat suara yang selama ini diredam, menampilkan wajah-wajah yang terpinggirkan, dan menyusun kembali peta kota dari sudut pandang mereka yang nyaris tak terlihat.

Perhatikan bagaimana Tubuh Terik mengambil latar di Benteng Rotterdam, ruang kolonial yang kini menjadi tempat artikulasi penderitaan ekologis. Atau Beri Kami Selamat, yang menghadirkan pete-pete sebagai ruang performans sekaligus simbol kekacauan transportasi publik. Atau Paksa Pasrah, yang memulai performans dari studio Kala lalu berarak ke lapangan, seolah tubuh-tubuh pekerja harian itu sedang mengklaim kembali ruang kota yang tak pernah menjamin keselamatan mereka. Pilihan ruang ini bukan estetika semata, melainkan strategi politik.

Dan dalam sepuluh tahun perjalanan ini, Kota dalam Teater telah tumbuh dari sekadar pertunjukan menjadi arsip sosial yang hidup. Ia menyimpan fragmen sejarah kota yang tak tercatat dalam dokumen negara: ketakutan menghadapi banjir, pengabaian atas hak pekerja harian, keterasingan dalam perumahan kumuh, hingga tekanan psikologis akibat polusi dan perubahan iklim. Semua ini tidak disampaikan dalam bentuk laporan atau infografis, melainkan melalui tubuh yang bergerak, berbicara, menangis, dan diam. Tubuh yang tidak menuntut belas kasihan, tetapi mengajak untuk melihat, mendengar, dan bertanya.

Proyek ini bukan sekadar seni komunitas. Ia adalah teater kewargaanteater pengingatanteater perlawanan. Ia adalah ruang alternatif yang memberi suara pada yang tak terdengar, ruang yang memberi tempat bagi yang tak punya panggung. Dalam lanskap seni pertunjukan Indonesia, posisinya unik; bukan festival, bukan proyek seni musiman, melainkan ritus yang hadir setiap tahun untuk menyentuh tanah, menyapa peluh, dan menyuarakan luka kota.

Sebagai pembuka dari serial esai ini, kita diingatkan bahwa teater bukan pelarian dari realitas, tapi justru perjumpaan paling intim dengan yang nyata. Teater adalah cara kita menatap tubuh orang lain tanpa berjarak, mendengar napas mereka, dan dalam diam, berkata: aku mengerti.

Dan Kala Teater telah menunjukkan bahwa kota tidak hanya bisa dipetakan melalui GPS atau tata ruang, tapi juga melalui langkah kaki, peluh, dan ingatan. Dalam tubuh teater mereka, kota menjadi terbuka: bagi rasa, bagi luka yang lama membeku, dan bagi kita semua yang masih percaya bahwa seni adalah ruang untuk pulang.

Sumber: https://celebesimages.id/kota-yang-diperankan-membaca-tubuh-menembus-batas-ruang/

Bagian Kedua dari Serial “Kota yang Diperankan”

Makassar, 1 Mei 2025. Hari Buruh Internasional. Tapi di sudut kota ini, ada tubuh-tubuh yang tidak berdemo dengan spanduk atau pengeras suara. Mereka berbicara lewat diam, lewat gerak yang diulang tanpa henti, lewat tubuh yang membiarkan dirinya dibakar matahari. Hari itu, dua performans dari proyek Kota dalam Teater dipentaskan: Matalantas oleh Dwi Putra Mario dan Paksa Pasrah oleh Sabri Sahafuddin. Keduanya menghadirkan tubuh sebagai tempat di mana kekuasaan kota bekerja, tetapi juga sebagai titik mula perenungan dan perlawanan. Tubuh yang terseret dalam arus kota, tapi tak menyerah begitu saja. Tubuh yang bukan hanya “dipertontonkan,” tetapi hidup, terasa, rapuh, dan bermakna.

Matalantas: Kilatan Cahaya, Tubuh yang Berputar, dan Kekuasaan yang Tak Terlihat

Di salah satu ruang pamer Riwanua, di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Hasanuddin, Dwi Putra Mario memutar tubuhnya selama tiga jam di atas rug bundar enceng gondok. Ia bergerak searah jarum jam, tanpa pola pasti, tanpa poros stabil. Gerakannya tak seperti Tarian Sema para darwis sufi Maulawiyah yang agung dan terpusat, tetapi seperti putaran tubuh yang mencari arah dalam kekacauan. Setiap beberapa detik, cahaya lampu strobo menyala, menciptakan kilatan yang menyilaukan, menyakitkan, dan mengganggu.

Di sinilah kita bisa menghadirkan pembacaan dari Martin Heidegger. Dalam Being and Time, Heidegger berbicara tentang Geworfenheit, keterlemparan manusia ke dunia: kita tidak memilih untuk dilahirkan dalam kondisi sosial tertentu, kita terlempar begitu saja ke dalam dunia yang telah memiliki struktur, kekuasaan, dan aturan. Tubuh Mario, yang terus berputar tanpa arah di bawah kilatan cahaya pengawasan adalah representasi dari tubuh warga kota yang dilempar ke dalam sistem pengawasan digital yang tak bisa ditawar: kamera tilang elektronik yang dingin, objektif, tapi mencederai.

Kamera dalam konteks ini bukan hanya alat teknis, tapi simbol dari apa yang disebut Michel Foucault sebagai panopticon modern. Sistem pengawasan yang membuat warga selalu merasa dilihat, meski tidak tahu kapan tepatnya ia diawasi. Cahaya strobo menjadi metafora dari visibility regime, tubuh yang terus ditatap, dikontrol, tapi tak pernah diberi ruang untuk bicara. Mario tidak bisa berhenti berputar karena kekuasaan itu tidak memberi celah diam. Tubuhnya harus terus bergerak, seperti warga kota yang terjebak dalam ritme produktivitas, aturan lalu lintas, dan kebijakan yang dibuat tanpa dialog.

Namun di tengah kekacauan itu, Mario melaporkan sesuatu yang mengejutkan: pengalaman transendensi. Di balik gerakan yang melelahkan, ia sekali-kali mengalami semacam kesadaran spiritual, bahkan refleksi eksistensial tentang dirinya. Di sinilah kita menemukan paradoks: justru dalam situasi yang terlihat absurd, tubuh bisa menjadi tempat penyingkapan makna.

Heidegger menyebut pengalaman seperti ini sebagai momen authenticity, yaitu ketika manusia menyadari keberadaannya yang fana, lalu memilih untuk menjadi-diri-sendiri. Putaran Mario yang tampak tak berarah justru menggiringnya menuju perenungan terdalam: tentang tubuhnya, tentang dirinya, tentang dunia yang terus bergerak tapi mungkin kehilangan arah. Dengan demikian, Matalantas bukan hanya kritik terhadap sistem tilang elektronik, tetapi mediasi atas bagaimana tubuh bisa menjadi situs dari pengalaman eksistensial, di tengah kota yang terlalu sibuk untuk bertanya, “apa makna semua ini?”

Secara artistik, Matalantas juga menggugah karena memilih medium yang sangat minim: tubuh, cahaya, dan waktu. Tapi dari minim itu, ia justru menggambarkan keterjepitan warga kota yang hidup dalam pengawasan konstan, aturan yang tak pernah dijelaskan, dan teknologi yang tidak manusiawi. Mario mengulang gerak, tapi tiap putaran bukan hanya siklus; ia adalah pencarian makna.

Paksa Pasrah: Duduk dalam Terik, Mencabut Cabai, dan Memeluk Absurditas

Jika Matalantas memproyeksikan tubuh yang bergerak terus-menerus sebagai metafora keterlemparan, maka Paksa Pasrah menunjukkan tubuh yang duduk tak bergerak sebagai metafora dari keterpaksaan sosial. Di Lapangan Tala, pukul 13.30 siang, di bawah matahari Makassar yang menyengat dan membakar, Sabri Sahafuddin duduk membisu. Ia memisahkan cabai dari tangkainya, satu per satu, tanpa henti, hingga matahari tenggelam.

Jari-jari Sabri pedih. Kulit tangannya panas dan meradang. Duduk berjam-jam membuat pinggul dan tulangnya berdenyut kesakitan. Tapi ia bertahan. Bukan karena paksaan formal, tapi karena ia “memilih” untuk melanjutkan, demi satu hal: empatinya kepada buruh harian, khususnya para ibu pekerja informal. Empati itulah yang membuat performans ini menyentuh lebih dalam daripada sekadar kritik sosial. Sabri tidak hanya “menampilkan” buruh; ia menghidupi luka mereka, di kulit, di daging, di tulang, di kesadaran.

Di sini kita bisa membaca performans ini melalui Albert Camus, terutama dari karyanya The Myth of Sisyphus. Sisyphus dihukum para dewa untuk mendorong batu ke atas gunung, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke bawah, dan mengulanginya selamanya. Tapi Camus berkata, “Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Karena dalam absurditas itulah, manusia memperoleh kebebasannya: dengan menerima absurditas itu dan tetap memilih bertindak.

Sabri duduk dalam absurditas itu. Ia tahu apa yang ia lakukan tidak akan mengubah kebijakan pemerintah tentang buruh, tidak akan menyelesaikan penderitaan kaum pekerja informal. Tapi ia tetap duduk. Ia tetap mencabut cabai. Dalam penderitaan itu, Sabri menemukan sesuatu yang tak dimiliki kekuasaan: makna. Makna yang lahir dari empati, dari keberpihakan, dari kesadaran bahwa penderitaan bisa menjadi ruang solidaritas.

Empati Sabri melampaui nihilisme. Ia tidak jatuh pada keputusasaan. Ia memilih untuk mengafirmasi penderitaan, bukan untuk merayakan kesakitan, tetapi demi menyuarakan yang sering tak terdengar. Di sinilah Sabri bertemu dengan pemikiran Emmanuel Levinas, bahwa tanggung jawab etis kita lahir dari perjumpaan dengan wajah yang lain, dengan luka yang lain. Sabri tidak menampilkan dirinya; ia menampilkan luka orang lain, melalui tubuhnya sendiri.

Performans ini juga menyentil logika pertunjukan: tidak ada dialog, tidak ada narasi, tidak ada interaksi langsung. Hanya tubuh yang menahan sakit dan mata yang menatap dari jauh, atau kerumunan yang berswagerak tanpa saling sapa. Tapi justru dalam keheningan itu, Paksa Pasrah berteriak paling nyaring: tentang sistem kerja yang menindas, tentang kondisi yang memaksa warga “pasrah” agar bisa bertahan hidup, dan tentang kekuatan empati sebagai bentuk tertinggi dari kesadaran sosial.

**

Kedua performans ini, yang dipentaskan pada hari yang sama, berbicara dari dua kutub gerak: satu berputar terus tanpa arah, yang lain diam terus tanpa henti. Tapi keduanya saling bersahut dalam gagasan besar proyek Kota dalam Teater: bahwa tubuh warga kota adalah titik paling konkret di mana kekuasaan, penderitaan, dan harapan bertemu. Bahwa kota bukanlah infrastruktur semata, tetapi lanskap luka dan keberanian yang bisa dipanggungkan, dipertontonkan, dan direnungkan bersama.

Di tahun ke-10 ini, proyek Kota dalam Teater telah menjelma sebagai teater kewargaan, yang memperlihatkan bagaimana tubuh menjadi arena perlawanan terhadap kota yang semakin abstrak, semakin teknokratik, dan semakin melupakan sisi manusiawinya.

Dalam Matalantas, tubuh berputar dalam cahaya pengawasan yang tak adil. Dalam Paksa Pasrah, tubuh duduk dalam penderitaan yang tak diakui. Tapi dalam keduanya, kita menemukan satu hal yang sama: tubuh tidak menyerah. Ia tetap bergerak, atau tetap bertahan, demi satu hal: agar kota tak melupakan bahwa ia dibangun bukan untuk kekuasaan, tapi untuk manusia.

Sumber: https://celebesimages.id/kilatan-tilang-dan-kepasrahan-tubuh-kota-dalam-kekuasaan-dan-keterpaksaan/

Bagian Ketiga dari Serial “Kota yang Diperankan”

Makassar, 2 Mei 2025. Hari kedua proyek Kota dalam Teater berlangsung dalam suasana tenang tapi sarat ketegangan yang tersembunyi. Tidak ada teriakan, tidak ada ledakan emosi. Yang ada hanyalah tubuh-tubuh yang bekerja dalam repetisi dan kesenyapan; mengelola ingatan, luka, dan ketimpangan dengan cara yang nyaris tak terdengar. Hari itu, dua performans dipentaskan: Aku Ingin Tidur Lelap oleh Nurul Inayah, dan Kumuh yang Melintas-Lintas oleh Fathur Rahman. Keduanya mengangkat tema yang berbeda namun saling bersahut: tentang kota yang tak memberi ruang untuk tenang, dan tentang ruang yang tak layak disebut kota.

Aku Ingin Tidur Lelap: Cangkang yang Pecah, Tidur yang Retak

Di teras Studio Kala Teater, Nurul Inayah—Naya—berdiri di hadapan selembar kanvas panjang yang digantung tegak. Tangga kecil berdiri tegak di sisinya. Lima nyiru berisi cangkang telur diletakkan berjajar. Satu per satu, Naya menempelkan cangkang itu ke kanvas, mulai dari titik tertinggi, lalu perlahan menurun. Kadang tangga dibutuhkan, kadang tidak. Kadang cangkang melekat, kadang jatuh dan pecah. Sekira dua jam lamanya, hanya itu yang ia lakukan. Tapi justru dari yang “hanya itu” itulah, performans ini bicara lebih keras dari ribuan kata.

Naya sedang berbicara tentang banjir. Tapi bukan hanya banjir sebagai peristiwa ekologis, melainkan sebagai peristiwa psikis. Ia tidak menghadirkan visual air, tidak mencipratkan suara hujan, tidak menyajikan potongan berita. Ia menghadirkan yang lebih esensial: rasa takut, rasa waswas, rasa tidak bisa tidur. Setiap cangkang yang ia tempel adalah metafora dari rasa genting itu. Tipis, rapuh, bisa pecah kapan saja; seperti tidur warga kota yang terjaga oleh suara hujan di tengah malam. Karena mereka tahu, air bukan lagi teman musim, tapi ancaman yang bisa menghapus perabot, penghidupan, dan ketenangan jiwa.

Di sini, performans Naya bisa dibaca melalui pemikiran Gaston Bachelard dalam The Poetics of Space. Bachelard mengatakan bahwa rumah adalah tempat perlindungan psikis; ia bukan sekadar bangunan fisik, tetapi struktur batin. Ketika rumah terancam banjir, maka bukan hanya dinding yang retak, tapi juga rasa aman yang hancur. Tidur, dalam konteks ini, adalah simbol dari kepercayaan paling dalam bahwa kita bisa merasa aman. Dan ketika itu hilang, maka seluruh dunia retak.

Cangkang telur menjadi simbol sempurna dari perasaan itu. Ia adalah “kulit” perlindungan, sekaligus simbol dari kehidupan yang paling rapuh, sebuah juxtapose paripurna. Setiap cangkang yang pecah dalam performans ini adalah representasi dari trauma kolektif yang tak tertangani. Naya tidak marah, tidak menangis, tapi tubuhnya menyimpan semuanya. Dan kita, yang menonton, merasakan kegelisahan itu bukan dari suara, tapi dari bunyi pecahnya cangkang, dari keheningan yang panjang, dari repetisi yang tak berujung.

Dalam karyanya The Body in Pain, Elaine Scarry menyebut bahwa rasa sakit sulit untuk direpresentasikan karena ia begitu individual dan tak bisa dijelaskan secara utuh. Performans Naya justru menunjukkan bahwa cara paling jujur untuk mengungkap trauma adalah dengan tak mengatakan apa-apa, hanya mengulang gerakan yang sama, membiarkan tubuh menyampaikan kesaksian yang tak bisa dituturkan.

Performans ini juga bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan. Dalam keheningan itu, Naya tidak tunduk. Ia bekerja. Ia menyusun. Ia mencoba memberi bentuk pada rasa takut yang tak terucap. Inilah bentuk lain dari kewargaan. Bukan dalam bentuk unjuk rasa, tapi dalam bentuk kerja kecil, telaten, nyaris domestik, tapi penuh makna. Dalam semangat itu, Naya bersua dengan Judith Butler, yang menyebut bahwa tubuh bukan hanya objek dari kekuasaan, tapi juga medium dari resistensi. Ketika tubuh tampil di ruang publik dengan cara yang tak biasa, ia sedang menggugat narasi dominan: bahwa banjir hanyalah bencana teknis, bahwa tidur hanyalah urusan pribadi. Tidak. Tidur adalah hak warga. Dan ketika kota tak bisa menjaminnya, maka kota telah gagal.

Kumuh yang Melintas-Lintas: Arang, Kardus, dan Arsitektur yang Gagal

Sore hari, di rooftop pusat perbelanjaan modern, Mall Nipah, Fathur Rahman duduk di atas hamparan kardus bekas. Ia mengenakan jas, tapi di bawahnya hanya celana pendek. Di hadapannya, kardus, arang dan cat tembok. Dengan tangan yang kotor, ia mulai menggambar rumah demi rumah di setiap sisi kardus; garis sederhana, bentuk kotak, atap miring, semuanya tampak ringkih. Ia terus menggambar, menorehkan arang seperti menulis sejarah, melukis bukan untuk keindahan, tapi untuk menyimpan kesaksian.

Yang menarik di sini bukan hanya gambar-gambarnya, tapi media yang ia pilih: kardus. Material bekas, rapuh, mudah hancur. Inilah metafora paling kuat dari permukiman kumuh di kota: dibangun di atas sesuatu yang bisa runtuh kapan saja. Arsitektur darurat yang menunjukkan betapa warga miskin kota dipaksa membangun kehidupan dari sisa-sisa. Fathur tidak melukis di kanvas, karena kehidupan di permukiman kumuh tidak diberi kanvas oleh negara. Yang ada hanya kardus, dan arang.

Dalam pembacaan Henri Lefebvre, kota bukan hanya ruang fisik, tapi medan konflik simbolik dan politik. Siapa yang boleh tinggal di mana, siapa yang mendapat ruang layak, siapa yang hanya boleh tinggal di antara kanal dan got; semuanya adalah keputusan politik yang disamarkan sebagai “realitas sosial.” Performans Fathur membuka realitas itu. Ia menampilkan bukan hanya permukiman kumuh, tapi juga kekumuhan keputusan politik yang membiarkan 299 hektare wilayah di Makassar tetap dalam kondisi tak manusiawi.

Yang lebih menarik, performans ini berlangsung di rooftop pusat belanja; tempat paling steril dari wacana kekumuhan. Di sinilah pertarungan simbolik berlangsung. Di atas ruang komersial, Fathur menghadirkan suara mereka yang paling terpinggirkan. Ia membawa “kumuh” ke tempat yang “rapih,” dan dengan begitu, ia merusak kenyamanan semu dari kota neoliberal. Ini adalah bentuk reclaiming ruang dalam pengertian yang sangat literal.

Fathur, dengan performansnya yang tenang tapi intens, juga menyentuh pemikiran Allan Kaprow, bahwa seni harus menyatu dengan kehidupan. Lukisan di atas kardus bukan hanya estetika, tapi tindakan sosial. Tangan yang menghitam karena arang bukan hanya efek teknis, tapi bentuk keterlibatan langsung. Penonton tak bisa lagi menjadi “pengamat netral.” Mereka dihadapkan pada pemandangan yang mengganggu, yang membuat mereka bertanya: “Apakah saya juga bagian dari sistem yang membiarkan ini semua?”

**

Baik performans Naya maupun Fathur, keduanya bicara dengan bahasa yang senyap tapi dalam. Mereka tidak meminta belas kasihan, tidak mencari panggung heroik. Yang mereka tampilkan adalah bentuk paling jujur dari seni kota: seni yang tumbuh dari bawah, dari penderitaan yang konkret, dari tubuh-tubuh yang tak punya kemewahan untuk bersuara di ruang-ruang formal. Dalam keheningan mereka, kita mendengar paling banyak.

Hari itu, Kota dalam Teater kembali membuktikan kekuatannya sebagai teater kewargaan. Proyek ini bukan ruang representasi, tapi ruang penghadiran. Ia tidak mewakili warga; ia adalah warga itu sendiri. Dan tubuh yang tampil di panggung bukanlah aktor, tapi warga kota yang membawa cerita, luka, dan pertanyaan yang selama ini dipendam.

Naya bertanya: bisakah aku tidur dengan tenang?
Fathur bertanya: apakah rumahku cukup layak untuk disebut rumah?
Kita, yang menonton, hanya bisa diam, lalu merasa tercekik oleh jawaban yang tidak kita temukan.

Dua performans hari itu memperkuat satu hal: kota bukan milik mereka yang bisa membeli ruang, tetapi milik mereka yang terus berusaha hidup di tengah reruntuhan, di tengah banjir, di atas kardus, di bawah rasa takut. Kota dalam Teater, di tahun ke-10-nya, menunjukkan bahwa seni masih bisa jujur, bahwa tubuh masih bisa bicara, dan bahwa luka masih bisa dipanggungkan agar tidak menjadi trauma yang membusuk dalam diam.

Dalam dunia yang makin riuh oleh konten yang tak bermakna, proyek ini mengajarkan kita untuk memperlambat langkah, memperhatikan yang kecil, dan mendengar yang pelan. Karena justru di situlah, kehidupan kota yang paling hakiki sedang berlangsung, bukan di rapat wali kota, bukan di berita utama, tapi di tangga kayu yang menopang tubuh perempuan yang tak bisa tidur, dan di garis arang yang menggambarkan rumah-rumah yang tak pernah masuk peta.

Sumber: https://celebesimages.id/trauma-yang-mengalir-dan-nafas-yang-terengah-kota-dalam-gangguan-psikis-dan-ketimpangan-ruang/

Bagian Keempat dari Serial “Kota yang Diperankan”

Makassar, 4 Mei 2025. Hari terakhir proyek Kota dalam Teater ditutup dengan dua pertunjukan yang menyayat sekaligus merapal harapan. Pagi itu, trotoar panjang di Jalan Pettarani bukan sekadar jalur pejalan kaki, melainkan jalur perlawanan seorang perempuan yang berjalan dengan punggung penuh beban. Siang menjelang sore, halaman depan Benteng Rotterdam berubah menjadi altar sunyi, tempat seorang tubuh perempuan berbaring di bawah kaktus berduri, berkeringat, tertusuk, dan akhirnya menanam. Di hari keempat ini, dua pertunjukan disajikan: Tubuh yang Tak Pernah Dicatat oleh Mega Herdiyanti dan Tubuh Terik oleh Dwi Lestari Johan. Keduanya menyatukan tubuh dan ruang kota dalam kesaksian akan ketimpangan, krisis ekologis, dan ketidakadilan struktural yang selama ini disapu rapi oleh narasi pembangunan.

Tubuh yang Tak Pernah Dicatat: Beban Sosial di Punggung Perempuan Kota

Mega Herdiyanti memulai performansnya dengan mengenakan tas punggung satu per satu hingga punggungnya benar-benar penuh beban. Puluhan tas itu menumpuk di punggungnya, membentuk gunungan beban yang absurd dan mustahil. Ia kemudian berjalan menyusuri trotoar panjang Jalan Pettarani, dari simpang Alauddin hingga Flyover Urip Sumoharjo. Terik matahari menggigit kulitnya, trotoar retak dan penuh rintangan. Ia menerobos halte yang tak bisa lagi disebut halte, melompati pagar pembatas, dan menembus keheningan jalan raya yang hanya bisa dimengerti oleh tubuh yang berjalan di dalamnya.

Mega sedang memainkan tubuh perempuan pekerja informal, khususnya pengemudi ojek online yang menghadapi dunia kerja yang maskulin, penuh stigma, dan minim perlindungan. Dalam konteks ini, performans Mega bisa dibaca melalui lensa Judith Butler dan gagasan performativity-nya: bahwa identitas perempuan tidak melekat begitu saja, tetapi dibentuk, dinegosiasikan, dan sering kali ditolak oleh ruang sosial yang menginginkan keseragaman maskulin.

Tas-tas di punggung Mega bukan sekadar properti. Ia adalah simbol dari “beban ganda” yang dipikul perempuan pekerja: mengurus rumah, mencari nafkah, menjaga anak, menavigasi jalan kota yang brutal, sekaligus menahan cemoohan dari pengguna jalan dan algoritma aplikasi digital. Tas-tas itu adalah patriarki, adalah ketimpangan ekonomi, adalah jam kerja yang panjang, adalah ketidakadilan sistemik. Dan saat Mega akhirnya roboh di tengah perjalanan, tubuhnya tidak menyerah, melainkan menyatakan: “sampai di sini beban ini perlu dibagi.”

Yang menarik, meski pertunjukan resmi dihentikan di tengah jalan, Mega dan rombongannya tetap berjalan hingga titik awal, kali ini tanpa tas di punggungnya. Ini bukan akhir yang tragis, tapi tafsir baru tentang solidaritas. Ia tak lagi berjalan sebagai tubuh tunggal, tetapi sebagai bagian dari komunitas yang mau berbagi beban. Di sinilah performans ini melampaui simbolisme dan menjadi praktik etik yang hidup. Mega, dengan tubuhnya, menyatakan bahwa ketahanan bukanlah mitos individual, melainkan hasil dari keberanian untuk mengatakan cukup, dan berjalan bersama.

Dalam pemikiran Emmanuel Levinas, tanggung jawab etis lahir dari pertemuan dengan wajah yang lain. Ketika kita melihat Mega berjalan di trotoar, berkeringat, tertatih, kita tidak bisa lagi melihatnya sebagai “perempuan pekerja” yang asing. Ia adalah wajah yang memanggil: “lihat aku, hitung aku, catat aku.” Tubuh yang Tak Pernah Dicatat adalah tubuh yang meminta kota untuk menulis ulang buku besar Pembangunan, agar tak lagi mengabaikan mereka yang menopang kehidupan kota tanpa pernah dianggap bagian darinya.

Tubuh Terik: Ritual Perlawanan di Bawah Matahari yang Membakar

Di halaman Benteng Rotterdam, di bawah langit Makassar yang terik dan kering, Dwi Lestari Johan hadir dalam balutan gaun putih, tubuhnya telanjang oleh panas. Bersamanya, sebuah kaktus besar, berat dia junjung. Ia mulai mencabut satu per satu duri dari batang kaktus itu, menyebarkannya di atas lembaran putih yang ia pijak. Lalu ia rebah, dan kaktus itu ditidurkan di atas tubuhnya. Ia tertusuk. Ia bergeming. Ia mengangkat kaktus itu, menimbangnya, memastikan seluruh durinya telah tercabut. Kemudian, dengan langkah pelan, ia kembali menjunjung kaktus itu menuju taman, bersusah payah menanamnya, lalu menyiramnya.

Performans ini adalah ritus ekologi, ritus tubuh, ritus harapan. Dalam tubuhnya yang tertusuk dan penuh peluh, Dwi Lestari Johan sedang berbicara tentang krisis iklim yang tak lagi bisa dimaknai hanya lewat angka dan data. Ia menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu global, tetapi realitas lokal yang menghujam tubuh: panas yang membuat orang sakit kepala, kulit terbakar, aktivitas terganggu, dan ruang hijau lenyap demi beton dan jalan tol.

Dalam performans ini, tubuh menjadi medium penyimpanan luka ekologis. Kita teringat pada Gilles Deleuze dan Félix Guattari, yang dalam A Thousand Plateaus menyebut tubuh sebagai “a body without organs”—tubuh yang tak lagi terikat pada fungsi biologisnya, tetapi terbuka untuk transformasi, untuk menjadi tempat bagi pengalaman dan makna. Dwi Lestari menjadikan tubuhnya sebagai media tumbuhnya kesadaran: bahwa manusia, seperti kaktus, bisa bertahan dalam keterasingan, bisa menyimpan air di dalam kesunyian, bisa menunggu waktu yang tepat untuk mekar.

Namun, performans ini juga menyampaikan kritik sosial yang tajam: kaktus tidak seharusnya hidup di tempat ini. Ia hadir karena tanah telah kehilangan kesejukan, karena pohon-pohon telah digantikan papan reklame, karena sungai telah disemen dan langit kehilangan warna. Dengan menanam kaktus, Dwi Lestari bukan sedang menyerah pada gurun, tapi menyatakan: “jika kota tak bisa lagi meneduhkan, maka kita harus belajar bertahan.”

Menarik bahwa performans ini ditutup dengan tindakan sederhana: menyiram. Setelah tubuh ditusuk, setelah panas dipeluk, setelah luka didera, air kembali diberikan. Dalam tindak itu, ada simbol kasih, ada pemeliharaan. Performans ini adalah bentuk care ethics, konsep etika yang ditekankan oleh pemikir seperti Carol Gilligan yang menempatkan perawatan, empati, dan relasi antar-tubuh sebagai pusat dari tindakan moral. Dwi Lestari tidak mengutuk kota, tapi merawat luka yang ditinggalkannya.

**

Hari keempat dari Kota dalam Teater adalah hari tubuh-tubuh perempuan. Tapi mereka bukan tubuh pasrah. Mereka adalah tubuh yang memikul beban sejarah, tubuh yang membentangkan perlawanan di jalan raya, tubuh yang tertusuk tapi tetap menanam. Mereka tidak menjerit, tetapi menegaskan dengan keheningan dan langkah. Mereka tidak menyerang, tapi menyodorkan pengalaman yang tak bisa ditolak.

Mega dan Dwi Lestari menunjukkan bahwa kota bukan hanya milik mereka yang punya modal, tetapi juga milik mereka yang setiap hari menanggung panas, stigma, dan ketidakadilan. Kota dibentuk bukan oleh masterplan, tetapi oleh peluh yang jatuh di trotoar, oleh duri yang tertinggal di kulit.

Penutup Serial: Sepuluh Tahun, Delapan Tubuh, Satu Kota

Dengan delapan performans yang telah berlangsung selama empat hari, Kota dalam Teater 2025 menutup dekade pertamanya bukan dengan gemuruh, tapi dengan keheningan yang mengguncang. Sejak 2015, Kala Teater telah menapaki ruang-ruang kota dengan tubuh sebagai naskah dan warga sebagai aktor. Mereka tidak menciptakan dunia fiktif, tapi menghadirkan dunia nyata yang sering kali disembunyikan oleh narasi resmi: pekerja informal, perempuan yang tak tercatat, warga kumuh, korban banjir, penderita panas ekstrem, pengguna jalan yang dilanggar haknya—semua diberi ruang untuk bicara: melalui tubuh.

Proyek ini telah menempatkan Makassar bukan hanya sebagai lokasi, tapi sebagai subjek. Kota ini bukan latar belakang, tapi aktor yang berbicara, kadang menindas, kadang memberi ruang. Dan seni bukan lagi sekadar estetika, tapi tindakan sosial, ritus kewargaan, dan arsip penderitaan kolektif.

Sebagai penonton yang mengikuti rangkaian pertunjukan, saya tak bisa tidak membayangkan Kota dalam Teater sebagai bentuk kontemporer dari The Madman with a Lantern dalam karya Nietzsche. Kala Teater seperti membawa lentera menyala di siang hari, menembus keriuhan pasar kota, yakni Makassar dengan segala ketimpangannya. Seperti orang gila Nietzsche yang mencari Tuhan di tengah masyarakat yang merasa tak membutuhkannya, Kota dalam Teater memasuki ruang-ruang publik dengan cahaya kecil yang menjungkirbalikkan keterbiasaan, mempertanyakan kepekaan kita pada luka yang sudah terlalu sering dianggap normal. Lentera itu bukan penerang, tapi pengungkap. Ia tidak menambah terang, tapi membongkar gelap yang tersembunyi di balik terang palsu.

Dari posisi itu pula saya berdiri, sebagai penonton yang berpijak pada semangat Roland Barthes. Kacamata saya barangkali serupa pisau signifikansi dua tahap yang ia maksudkan, bukan untuk membunuh subkultur, bukan untuk mematikan ekspresi marjinal, tetapi untuk menguliti wacana dominan yang selama ini membungkus kekuasaan dengan estetika, membungkam tubuh-tubuh yang seharusnya didengar. Kala Teater memperlihatkan bahwa tubuh bukan hanya objek seni, tapi alat pengetahuan; bahwa kota bukan hanya lanskap, tapi medan kuasa yang harus dibaca dan dikritisi.

Dalam empat esai ini, kita telah membaca tubuh-tubuh itu: berputar, duduk, menempelkan cangkang, menggambar rumah, menggendong tas, merebahkan diri di bawah kaktus. Mereka tak hanya melakukan aksi, tapi menawarkan tafsir baru atas kota; bahwa kota adalah tubuh yang bisa luka, tapi juga bisa sembuh jika kita mulai mendengarkan.

Dan seni pertunjukan, seperti yang disaksikan dalam Kota dalam Teater, bukan lagi soal panggung dan naskah, tapi soal siapa yang diberi ruang, siapa yang dianggap, siapa yang diingat. Karena selama masih ada tubuh yang tak tercatat, masih ada luka yang tak diobati, maka teater tidak boleh berhenti. Dan kita, sebagai penonton yang berpikir, tidak boleh diam.

Sumber: https://celebesimages.id/tubuh-yang-tak-tercatat-dan-terik-yang-tak-terelakkan-kota-gender-dan-krisis-iklim/

Yang Tidak Terhubung: Warga & Kota

Performer

Dwi Saputra Mario, Sabri Sahafuddin, Nurul Inayah, Fathur Jacobus, Nurhafsa Hidayani, Fitrya Ali Imran, Mega Herdiyanti, dan Dwi Lestari Johan

Fasilitator

Shinta Febriany

Koordinator Lapangan

Ahmad Dzulkifli Pratama Nur

Narahubung

Widya Handayani

Leave a Reply